Kerusuhan
yang terjadi di Kota Ambon dan sekitarnya, telah menelan ratusan atau ribuan
korban jiwa manusia, ribuan rumah penduduk, puluhan tempat ibadah, serta
ratusan sarana perekonomian. Kerusuhan dimaksud ternyata telah membawa dampak
negatif, sehingga sangat mempengaruhi terganggunya sistem pendidikan dan
aktivitas ekonomi masyarakat, hubungan sosial, dan kekerabatan. Jika dibandingkan dengan kerusuhan di
tempat-tempat lain, Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya merupakan yang terlama
dengan kerugian yang terbesar. Ini disebabkan, pola kerusuhan Ambon sama sekali
berbeda dengan yang terjadi pada tempat-tempat lainnya di Indonesia, dan faktor
pemicunya juga sangat mendasar.
Kerusuhan
di Ambon yang mulai terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999, diawali dengan terjadinya
pertikaian pribadi antara seorang pendatang beragama Islam dengan seorang Anak
Negeri Kristen, yang kemudian melibatkan dua kelompok masyarakat berlabel
agama, yaitu Kelompok Islam dan Kelompok Kristen. Awal kerusuhan terjadi di
Tempat Pemberhentian Mobil Angkutan di Batu Merah, dimana seorang pendatang
beragama Islam dan seorang Anak Negeri Kristen, sopir mobil angkutan kota
Jurusan Batu Merah, terlibat pertikaian, kemudian si Anak Negeri Kristen
meninggalkan lokasi kejadian dan kembali dengan beberapa temannya yang
sekampung dan mengejar si pendatang beragama Islam.Pendatang beragama Islam ini
selanjutnya melarikan diri memasuki Desa Batu Merah dan kembali dengan massa
Islam yang membawa berbagai senjata tajam, kemudian mengejar si Anak Negeri Kristen
dan teman-temannya, sehingga mereka lari memasuki Kampung Mardika, yang
berbatasan dengan Desa Batu Merah. Masyarakat Mardika yang melihat massa Batu
Merah mengejar massa yang masuk ke dalam kampungnya sebagai tindakan
penghadangan, sehingga terjadilah saling melempar batu antar kedua kelompok
massa, yang berakhir dengan dibakarnya 4 (empat) buah rumah penduduk warga
Mardika. Saat itu, masyarakat pada lokasi-lokasi pemukiman Kristen mulai
mengetahui adanya pertikaian antara Mardika dan Batu Merah, dan tampaknya
solidaritas kelompok yang telah mengental dan lemahnya budaya lokal sebagaimana
dikonstatasi sebelumnya, mendorong keterlibatan kelompok Pemuda Kristen dari
belakang Soya, lokasi terdekat dengan Mardika, secara berkelompok untuk menuju
Mardika guna memberi membantu. Kerusuhan masih berlanjut secara massal sampai
tanggal 5 Maret 1999. Ini diduga kuat sebagai akibat munculnya semangat
ber-jihad yang dibakar oleh gerakan Islam secara nasional tersebut. Pada
tanggal tersebut massa yang semula berkumpul di Mesjid Al Fatah menyerang
wilayah di sekitar Gereja Silo, diikuti oleh pembakaran gedung sekolah SD
Latihan yang sementara ditempati para pengungsi beragama Kristen dari Silale.
Muncullah reaksi balik dari massa yang beragama Kristen, sehingga menyulut
kerusuhan di beberapa tempat sekitarnya. Kerusuhan ini menelan cukup banyak
korban manusia baik yang luka berat dan ringan maupun yang meninggal.
Titik
terang untuk menyelesaikan konflik di Ambon mulai terlihat ketika kesediaan dua
pihak-yang terlibat dalam konflik-hadir mengikuti pertemuan pendahuluan di
Makassar. Rencananya, hasil pertemuan akan diteruskan dalam perundingan di
Malino, Kabupaten Gowa, yang dijadwalkan berlangsung 5-7 Februari 2002.
Pertemuan tertutup dengan 15 orang perwakilan kelompok Nasrani dilakukan di
Tanaberu Room, Hotel Losari Beach, Jalan Penghibur, dari pukul 16.20 sampai
pukul 19.00. Sementara, pertemuan dengan kelompok Muslim dilakukan di Hotel
Kenari mulai pukul 19.30. Hadir sebagai fasilitator pertemuan tersebut Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) HM Jusuf Kalla, Gubernur
Maluku Saleh Latuconsina, Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) HZB Palaguna, dan
Kepala Badan Intelijen Polri Inspektur Jenderal W Simatupang.
Untuk
mengakhiri konflik di Maluku sebenarnya bisa dilakukan dengan benar-benar
menjalankan isi kesepakatan damai Malino II untuk Maluku. Adanya suara-suara
untuk mementahkan isi kesepakatan dengan rencana menggelar ulang perundingan
damai adalah tidak perlu. Perundingan boleh saja dilakukan tetapi melanjutkan
perundingan Malino II, agendanya untuk menyempurnakan kesepakatan damai yang
telah dicapai.
Tanggungjawab
penyelesaian konflik adalah tetap pada pemerintah pusat. Meskipun di era
otonomi daerah, aparat daerah memiliki kebebasan untuk mengatur rumah tangga
sendiri, namun dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang merupakan otonomi daerah
menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali, diantaranya, pertahanan keamanan. Oleh karena itu,
penciptaan keamanan di daerah tetap merupakan tugas dan tanggung jawab Pusat.
Upaya
pusat yang telah menggelar perundingan Malino II sehingga membuahkan
kesepakatan damai adalah cukup terpuji. Hal tersebut merupakan bukti tanggung
jawab pusat dalam upaya pemeliharaan keamanan. Dalam tahap implementasi di
lapangan, pelaksanaan kesepakatan damai Malino II merupakan tugas dari PDSD,
Pangdam/Pangkoopslihkam, dan segenap jajarannya. Keberhasilan tugas ini sangat
ditentukan oleh kesatuan langkah dan kekompakan setiap aparat pemerintah dan
keamanan.
Pelaksanaan
Poin 2,3, dan 5 dari kesepakatan Damai Malino II sangat menentukan keberhasilan
penguasa dalam mengakhiri konflik Maluku. Poin dua yang berbunyi :menegakkan
supremasi hukum secara adil dan tidak memihak. Karena itu, aparat harus
bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya". Poin ini penting karena
pemerintah harus bertindak adil. Selama pemerintah bersikap berat sebelah, akan
timbul ketidakpuasan salah satu pihak. Akibatnya pihak yang merasa dirugikan
tersebut akan terus mengobarkan permusuhan. Tindakan pemerintah untuk menagkap
para pemimpin pihak-pihak yang bertikai seperti Panglima Laskar Jihad, Pemimpin
FKM/RMS, dan Laskar Kristus/Gang Coker adalah tepat. Yang harus dilakukan selanjutnya
adalah mengadili mereka seadil-adilnya.
Poin
tiga berbunyi "Menolak segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik
Maluku Selatan". Poin ini penting untuk menjaga tetap terpeliharanya
integrasi bangsa. Gerakan separatis, seperti RMS, apapun alasannya adalah
organisasi yang makar terhadap negara, oleh karena itu wajib diberantas. Negara
bisa melakukan tindakan kekerasan terhadap separatis. Aparat tidak perlu takut
dengan ancaman melanggar HAM, karena pada dasarnya keutuhan negara lebih
penting. Negara memiliki legalitas untuk menumpas gerakan separatis. Poin lima
berbunyi"Segala bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar bersenjata
tanpa izin di Maluku dilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan
diambil tindakan sesuai hukum yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yang
mengacaukan Maluku, wajib meninggalkan Maluku".Poin ini penting demi
membersihkan Maluku dari pihak-pihak yang memperkeruh keadaan. Berbagai laskar
dan LSM luar Maluku, semuanyawajib meninggalkan Maluku, agas suasana damai
masyakarat di daerah konflik berdarah itu cepat terwujud. Untuk melakukan
tindakan-tindakan tersebut, diperlukan sikap tegas dan adil dari PDSD Maluku.
Siapapun yang "bermain" dan memperkeruh suasana di Maluku harus
ditindak tegas, tanpa pandang bulu.
Daftar
Pustaka:
Sugiarto,
Toto.2002.Penyelesaian Konflik Maluku.[online].Tersedia: http://www.oocities.org/unpatti67/suarakarya090702.htm
Kompas.2002.Penyelesaian
Konflik Ambon Peroleh Titik Temu.[onine]. Tersedia: http://www.oocities.org/waai67/kompas310102.htm
Ajawaila,
DR. J. W, dkk.1999.Proposal Pemecahan Masalah Kerusuhan di Ambon.[online].
Tersedia: http://www.fica.org/hr/ambon/idRusuh1.html
Siwalimanews.com.2012.Perjanjian
Malino Beri Kontribusi Selesaikan Konflik Maluku.[online]. Tersedia: http://www.siwalimanews.com/post/perjanjian_malino_beri_kontribusi_selesaikan_konflik_maluku