Kamis, 17 Desember 2015

#ISD Kemajemukan di Indonesia dari Segi Pendekatan Konsensus - Konflik Ambon

Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon dan sekitarnya, telah menelan ratusan atau ribuan korban jiwa manusia, ribuan rumah penduduk, puluhan tempat ibadah, serta ratusan sarana perekonomian. Kerusuhan dimaksud ternyata telah membawa dampak negatif, sehingga sangat mempengaruhi terganggunya sistem pendidikan dan aktivitas ekonomi masyarakat, hubungan sosial, dan kekerabatan.  Jika dibandingkan dengan kerusuhan di tempat-tempat lain, Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya merupakan yang terlama dengan kerugian yang terbesar. Ini disebabkan, pola kerusuhan Ambon sama sekali berbeda dengan yang terjadi pada tempat-tempat lainnya di Indonesia, dan faktor pemicunya juga sangat mendasar.

Kerusuhan di Ambon yang mulai terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999, diawali dengan terjadinya pertikaian pribadi antara seorang pendatang beragama Islam dengan seorang Anak Negeri Kristen, yang kemudian melibatkan dua kelompok masyarakat berlabel agama, yaitu Kelompok Islam dan Kelompok Kristen. Awal kerusuhan terjadi di Tempat Pemberhentian Mobil Angkutan di Batu Merah, dimana seorang pendatang beragama Islam dan seorang Anak Negeri Kristen, sopir mobil angkutan kota Jurusan Batu Merah, terlibat pertikaian, kemudian si Anak Negeri Kristen meninggalkan lokasi kejadian dan kembali dengan beberapa temannya yang sekampung dan mengejar si pendatang beragama Islam.Pendatang beragama Islam ini selanjutnya melarikan diri memasuki Desa Batu Merah dan kembali dengan massa Islam yang membawa berbagai senjata tajam, kemudian mengejar si Anak Negeri Kristen dan teman-temannya, sehingga mereka lari memasuki Kampung Mardika, yang berbatasan dengan Desa Batu Merah. Masyarakat Mardika yang melihat massa Batu Merah mengejar massa yang masuk ke dalam kampungnya sebagai tindakan penghadangan, sehingga terjadilah saling melempar batu antar kedua kelompok massa, yang berakhir dengan dibakarnya 4 (empat) buah rumah penduduk warga Mardika. Saat itu, masyarakat pada lokasi-lokasi pemukiman Kristen mulai mengetahui adanya pertikaian antara Mardika dan Batu Merah, dan tampaknya solidaritas kelompok yang telah mengental dan lemahnya budaya lokal sebagaimana dikonstatasi sebelumnya, mendorong keterlibatan kelompok Pemuda Kristen dari belakang Soya, lokasi terdekat dengan Mardika, secara berkelompok untuk menuju Mardika guna memberi membantu. Kerusuhan masih berlanjut secara massal sampai tanggal 5 Maret 1999. Ini diduga kuat sebagai akibat munculnya semangat ber-jihad yang dibakar oleh gerakan Islam secara nasional tersebut. Pada tanggal tersebut massa yang semula berkumpul di Mesjid Al Fatah menyerang wilayah di sekitar Gereja Silo, diikuti oleh pembakaran gedung sekolah SD Latihan yang sementara ditempati para pengungsi beragama Kristen dari Silale. Muncullah reaksi balik dari massa yang beragama Kristen, sehingga menyulut kerusuhan di beberapa tempat sekitarnya. Kerusuhan ini menelan cukup banyak korban manusia baik yang luka berat dan ringan maupun yang meninggal.

Titik terang untuk menyelesaikan konflik di Ambon mulai terlihat ketika kesediaan dua pihak-yang terlibat dalam konflik-hadir mengikuti pertemuan pendahuluan di Makassar. Rencananya, hasil pertemuan akan diteruskan dalam perundingan di Malino, Kabupaten Gowa, yang dijadwalkan berlangsung 5-7 Februari 2002. Pertemuan tertutup dengan 15 orang perwakilan kelompok Nasrani dilakukan di Tanaberu Room, Hotel Losari Beach, Jalan Penghibur, dari pukul 16.20 sampai pukul 19.00. Sementara, pertemuan dengan kelompok Muslim dilakukan di Hotel Kenari mulai pukul 19.30. Hadir sebagai fasilitator pertemuan tersebut Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) HM Jusuf Kalla, Gubernur Maluku Saleh Latuconsina, Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) HZB Palaguna, dan Kepala Badan Intelijen Polri Inspektur Jenderal W Simatupang.

Untuk mengakhiri konflik di Maluku sebenarnya bisa dilakukan dengan benar-benar menjalankan isi kesepakatan damai Malino II untuk Maluku. Adanya suara-suara untuk mementahkan isi kesepakatan dengan rencana menggelar ulang perundingan damai adalah tidak perlu. Perundingan boleh saja dilakukan tetapi melanjutkan perundingan Malino II, agendanya untuk menyempurnakan kesepakatan damai yang telah dicapai.

Tanggungjawab penyelesaian konflik adalah tetap pada pemerintah pusat. Meskipun di era otonomi daerah, aparat daerah memiliki kebebasan untuk mengatur rumah tangga sendiri, namun dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang merupakan otonomi daerah menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali, diantaranya, pertahanan keamanan. Oleh karena itu, penciptaan keamanan di daerah tetap merupakan tugas dan tanggung jawab Pusat.

Upaya pusat yang telah menggelar perundingan Malino II sehingga membuahkan kesepakatan damai adalah cukup terpuji. Hal tersebut merupakan bukti tanggung jawab pusat dalam upaya pemeliharaan keamanan. Dalam tahap implementasi di lapangan, pelaksanaan kesepakatan damai Malino II merupakan tugas dari PDSD, Pangdam/Pangkoopslihkam, dan segenap jajarannya. Keberhasilan tugas ini sangat ditentukan oleh kesatuan langkah dan kekompakan setiap aparat pemerintah dan keamanan.

Pelaksanaan Poin 2,3, dan 5 dari kesepakatan Damai Malino II sangat menentukan keberhasilan penguasa dalam mengakhiri konflik Maluku. Poin dua yang berbunyi :menegakkan supremasi hukum secara adil dan tidak memihak. Karena itu, aparat harus bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya". Poin ini penting karena pemerintah harus bertindak adil. Selama pemerintah bersikap berat sebelah, akan timbul ketidakpuasan salah satu pihak. Akibatnya pihak yang merasa dirugikan tersebut akan terus mengobarkan permusuhan. Tindakan pemerintah untuk menagkap para pemimpin pihak-pihak yang bertikai seperti Panglima Laskar Jihad, Pemimpin FKM/RMS, dan Laskar Kristus/Gang Coker adalah tepat. Yang harus dilakukan selanjutnya adalah mengadili mereka seadil-adilnya.

Poin tiga berbunyi "Menolak segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik Maluku Selatan". Poin ini penting untuk menjaga tetap terpeliharanya integrasi bangsa. Gerakan separatis, seperti RMS, apapun alasannya adalah organisasi yang makar terhadap negara, oleh karena itu wajib diberantas. Negara bisa melakukan tindakan kekerasan terhadap separatis. Aparat tidak perlu takut dengan ancaman melanggar HAM, karena pada dasarnya keutuhan negara lebih penting. Negara memiliki legalitas untuk menumpas gerakan separatis. Poin lima berbunyi"Segala bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa izin di Maluku dilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan diambil tindakan sesuai hukum yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yang mengacaukan Maluku, wajib meninggalkan Maluku".Poin ini penting demi membersihkan Maluku dari pihak-pihak yang memperkeruh keadaan. Berbagai laskar dan LSM luar Maluku, semuanyawajib meninggalkan Maluku, agas suasana damai masyakarat di daerah konflik berdarah itu cepat terwujud. Untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, diperlukan sikap tegas dan adil dari PDSD Maluku. Siapapun yang "bermain" dan memperkeruh suasana di Maluku harus ditindak tegas, tanpa pandang bulu.



Daftar Pustaka:
Sugiarto, Toto.2002.Penyelesaian Konflik Maluku.[online].Tersedia:  http://www.oocities.org/unpatti67/suarakarya090702.htm
Kompas.2002.Penyelesaian Konflik Ambon Peroleh Titik Temu.[onine]. Tersedia:   http://www.oocities.org/waai67/kompas310102.htm
Ajawaila, DR. J. W, dkk.1999.Proposal Pemecahan Masalah Kerusuhan di Ambon.[online]. Tersedia: http://www.fica.org/hr/ambon/idRusuh1.html
Siwalimanews.com.2012.Perjanjian Malino Beri Kontribusi Selesaikan Konflik Maluku.[online]. Tersedia: http://www.siwalimanews.com/post/perjanjian_malino_beri_kontribusi_selesaikan_konflik_maluku

Rabu, 02 Desember 2015

#ISD Kemajemukan di Indonesia dari Segi Pendekatan Konflik - Konflik Sambas

Kalimantan Barat adalah salah satu daerah yang kerap mengalami konflik antar etnis. Konflik-konflik ini telah terjadi sejak puluhan tahun lalu. catatan dari Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie, Guru Besar Sosiologi Universitas Tanjungpura (Untan), konflik etnis di Kalbar sudah terjadi 12 kali. 

Salah satu Konflik yang terjadi di Kalimantan Barat adalah konflik antara Melayu sambas dan Madura pada tahun 1999. Kita sering mendengar konflik ini disebut dengan Konflik sambas. Terdapat banyak versi mengenai awal mula konflik berkepanjangan ini. Salah satunya yaitu versi yang mengatakan bahwa awal peristiwa dilatar belakangi kasus pencurian ayam oleh seorang warga suku Madura yang ditangkap dan dianiaya oleh warga masyarakat suku melayu yang kemudian dengan adanya serangan suku Madura terhadap suku melayu yang lagi melaksanakan sholat idul fitri yang menyebabkan 3 orang tewas

   Setelah itu, menyusul pertikaian antara Melayu dan Dayak dengan Madura di Kabupaten Sambas pada tahun 1999. Konflik yang ini menjadi lebih parah, sebab ribuan masyarakat Madura di Sambas harus diungsikan ke berbagai lokasi di Kodya Pontianak dan Singkawang. Dan hingga kini,pengungsi tetap dibiarkan bertahan dalam kamp pengungsian dan rumah keluarga sekaligus bergulat dengan 1.001 penderitaan. 

Menelusuri Akar terjadinya Konflik  pada sambas ini, banyak aspek yang memicu konflik antar kelompok masyarakat di Sambas ini terjadi. Kemarahan dan percampuran dendam sebagai akibat dari kecemburuan sosial, sikap kaum Madura, serta perasaan kaum Melayu yang merasa merasa tidak ditempatkan sebagai masyarakat yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah dan lingkungan dimana mereka hidup membuat konflik semakin memanas. Perbedaan budaya, dimana masing–masing kelompok berusaha mempertahankan apa yang menjadi budaya dan identitas kelompoknya menjadi konflik tersendiri dalam pertarungan antara Melayu dengan Madura. Suku bangsa Melayu yang cenderung lebih suka mengalah dan lemah lembut tapi lama kelamaan juga panas juga karena sikap dan budaya suku Madura yang cenderung keras dan menggunakan kekerasan sebagai sarana pemecahan masalah. Ketidakmampuan suku bangsa Madura untuk beradaptasi dengan lingkungannya menyebabkan mereka semakin eksklusif dan rela melakukan segala hal jika sesuatu yang buruk terjadi dengan kelompoknya. Berbeda dengan suku Melayu yang cenderung berusaha menghindari konflik, suku Madura melanggengkan adat “carok”nya jika terjadi permasalahan. Bahkan dendam semakin memuncak tatkala Madura menyebut suku Melayu dengan sebutan “Melayu Kerupuk” atas rasa takutnya jika menghadapi masalah

Harus diakui, semakin beruntunnya konflik etnis di Kalimantan Barat, khususnya selama tahun-tahun terakhir, telah melahirkan bibit permusuhan antarkelompok masyarakat begitu subur berkembang. Benih kecurigaan telah bertebaran di mana-mana. Masyarakat sendiri semakin sulit membedakan persoalan pribadi maupun kelompok. Suasana hidup diKalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Sambas, Bengkayang, Landak, Pontianak dan Kota Pontianak pun menyerupai api dalam sekam. 

Sebenarnya masyarakat Madura dan Kalimantan Barat memiliki hubungan sejarah. Pada awal abad ke-18 saat perang melawan Kerajaan Riau, sejumlah sukarelawan asal Madura yang tergabung dalam pasukan Kerajaan Mataram secara khusus ditugaskan ke Kalbar untuk membantu Kerajaan Sambas. Setelah pertempuran berakhir, sejumlah sukarelawan Madura tidak bersedia kembali ke tanah asalnya. Mereka memilih bertahan di Sambas, lalu menikah dengan gadis Melayu setempat. 

Kedatangan berikutnya pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1902. Setelah itu, eksodus masyarakat Madura secara swakarsa tersebut makin marak hingga saat ini. Di Kalbar, mereka umumnya bekerja sebagai petani, buruh kasar, peternak dan pedagang. Pilihan pekerjaan ini disebabkan tingkat pendidikan mereka rata-rata tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Di mata penduduk asli Kalbar, masyarakat Madura dinilai rajin, ulet dan terampil dalam memelihara tanaman serta hewan. Seekor sapi yang sebelumnya sangat kurus, setelah dipelihara serta dirawat orang Madura selama beberapa pekan, langsung gemuk. Maka tak heran, kalau kebutuhan daging sapi di Kalbar sebagian besar dipasok masyarakat Madura setempat. 

Akar persoalan selanjutnya, kata mereka, terletak pada tak adanya kepastian hukum. Kalau terjadi kecelakaan, pencurian atau perkelahian, aparat penegak hukum tidak serius menindaknya. Bahkan, memberi peluang bagi pelaku terbebas dari segala tuntutan hukum. Sebagai kompensasi, mereka diberikan sejumlah uang. 

Salah satu bukti kasus Pontianak 25-27 Oktober 2000 lalu. Kasus itu hingga kini sepertinya hendak didiamkan, sebab belum satu pelaku utama atau provokator yang ditangkap atau diseret ke pengadilan. Sebanyak 13 berkas perkara yang dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Pontianak pertengahan November 2000 silam, dengan pelakunya adalah mereka yang kedapatan membawa senjata tajam saat sweeping aparat TNI/Polri.

Terdapat tiga langkah yang harus dilakukan untuk penyelesaian kasus sambas menurut Komnas HAM, seperti penyelesaian jangka pendek, menengah dan panjang.

Program jangka pendek yaitu menciptakan ketenangan dan suasana sejuk. Karena menurut Bambang segala sesuatu jika ingin diusut dalam suasana kacau balau tentu tidak akan bisa.

Progam jangka menengah adalah menyangkut pengungsi. Karena perlu diperhatikan apakah hidup pengungsi sudah cukup layak, dari fisik maupun mentalnya. Perlu dipikirkan juga dikemanakankah para pengungsi tersebut.

Program jangka panjang adalah upaya mengantisipasi apabila timbul kejadian-kejadian serupa di lain hari.

Referensi:

Reocities. Kasus Sambas Sangat Kompleks.[online]. Tersedia :  http://reocities.com/Area51/Vault/1534/april/23/berita35724.htm
Wawa, Jannes Eudes.2000.Konflik Etnis di Kalimantan Barat.[online]. Tersedia: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/12/19/0052.html
Suparlan, Parsudi.2009.Konflik Antar Sukubangsa Melayu, Dayak dengan Madura di Kab. Sambas, Kalbar.[online]. Tersedia: http://etnobudaya.net/2009/09/29/konflik-antar-sukubangsa-melayu-dan-dayak-dengan-madura-di-kab-sambas-kalbar/
Abdurrahman, Hasanudiin. 1999.Fw: Analisa Sambas.[online].Tersedia: https://www.mail-archive.com/indonews@indo-news.com/msg01749.html